Kita melarat karena beum sepenuhnya bebas dari
cengkraman kekuatan asing. Masyarakat tidak mengetahui bahwa produksi minyak
nasional sebesar sekitar 1juta barrel/hari sekarang ini sudah didominasi oleh
korporasi asing. disamping itu muatan laut indonesia sebesar 46,8% dikuasai
oleh kapal berbendera asing, lebih dari 50% perbankan nasional dikuasai
asing,telekomunikasi dikendalikan asing (Indosat dimiliki Termasek Singapura,
disamping 35% saham Telkom, dan 98% saham XL juga milik asing), bahkan
perjanjian kerja sama pertahanan dengan Singapura telah merugikan kepentingan
pertahanan keamanan Indonesia.
Pasal-pasal pengamanan kepentingan asing ini
terutamaterlihat dalam UU penanaman modal asing, tepatnya pada bab V
"Perlakuan terhadap penanaman modal."Bab ini bahkan lebih liberal
dari negara-negara maju, karena tidak disertai dgn escape clause sebagai langkah
pengamanan kepentingan dalam negeri. Mereka menguasai ekonomi (tetapi
sesungguhnya juga politik dan pertahanan keamanan) kita lewat apa yg dinamakan state-hijacked
corruption, yakni korupsi yg menyandra negara.
UU penanaman modal asing tsb beserta peraturan
presiden No.76 dan 77 tahun 2007 sesungguhnya merupakan coup de grace/pukulan
telak dan mematikan bagi penegakan kedaulatan ekonomi kita. Pemerintahan SBY
telah membuatkan jalan tol nan mulus bagi korporasi asing untuk menguasai
perekonomian Indonesia.
Mengapa Indonesia takut untuk meminta negosiasi?
Kalau nasionalisasi dianggap terlalu ekstrem,terlalu revolusioner,bukankah ada
jalan lain untuk mencapai keadilan demi perbaikan nasib Indonesia sendiri.
Haruskah bangsa ini ditentukan oleh selembar kertas perjanjian yg tdk berasas
pd keadilan? Perjuangan harus jalan terus. Bukankah Bung Karno pernah
mengajarkan for a fighting nation, there is no journey's end. Bagi
bangsa pejuang tidak ada stasiun akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar